Beberapa waktu yang lalu suamiku mengungkapkan keheranannya tentang teman dekatnya yang ingin berpoligami (padahal dia sudah memiliki segalanya dengan/dari istrinya, yang juga sudah diakui oleh temen tersebut).
Selintas terbayang tentang tanteku (sekarang sudah almarhumah), yang menjanda di usia 26 tahun dengan 3 anak bisa bertahan tetap menjanda dengan juga tetap konsisten bekerja optimal dengan tetap menjalankan peran mendidik putra putrinya dengan sebaik-baiknya sampai ajalnya di usia 60 tahun.
Tanpa niat untuk mengkomparasikan kedua hal tersebut, sekedar suatu ungkapan tentang perempuan (laki-laki) postingan kali ini.
Ditengah masyarakat acapkali tetebar stereotip bahwa perempuan merupakan insan yang lebih lemah daripada laki-laki. Sungguhkah lelaki lebih kuat daripada perempuan? Sungguhkah lelaki bisa lebih sabar, taat asas (konsisten) dalam meniti kebaikan hari demi hari?
Begitu banyak lelaki menempatkan perempuan, termasuk pasangan hidup mereka sebagai pendamping yang submisif di bawah bayang-bayang dominasi kelaki-lakian. Maka laki-laki tidak pernah mencuci piring di dapur, tidak pernah mengepel lantai, tidak pernah menyiapkan makanan sendiri, jarang memasak untuk keluarganya. Semua pekerjaan itu seolah hanya beban perempuan, atau beban pasangan hidup sang pria yang 'digdaya'. Tak pelak tangan laki-laki seringkali justru lebih halus daripada tangan perempuan.
Dalam konteks lainnya, sekali lagi terlihat ke'realistisan' perempuan, berikut gambarannya.
Seringkali perempuan yang hidup sendiri (baik ditinggal suami bekerja di tempat yang sangat jauh, ataupun suami sudah meninggal), jamak sekali mendapat godaan dari laki-laki (dengan cara halus maupun kasar).
Godaan halus yang tampil dalam bentuk yang mempersoalkan seberapa kuatkah manusia ditinggal suami begitu lama, mereka berasumsi bahwa pria saja tidak akan kuat bertahan dalam kesetiaan jika berpisah begitu lama dengan istrinya. Apalagi perempuan, bukannya lebih meresa kesepian dan butuh kehangatan laki-laki.
Dalam hal lain lagi, godaan utnuk menjadi istri kesekian (baca: poligami) adalah bentuk tawaran yang biasanya datang dari laki-laki yang sok hidupnya sudah bisa menjamin hidup bahagia dunia dan akhirat juga tidak lupa menganggap diri mumpuni dalam menakar keadilan dalam hidup (katanya).
Beberapa gambaran diatas sesungguhnya secara tidak langsung memproyeksikan kerapuhan laki-laki sendiri. Yang benar-benar butuh kehangatan secara berlebih adalah para lelaki bukan perempuan. Namun, kebutuhan berlebih itu diproyeksikan keluar, sehingga seolah menempel pada perempuan.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan perempuan begitu tegar, sabar, kuat, taat asas, setia dan tabah.
Pertama, alasan bersifat eksternal dan relasional terutama berkaitan dengan relasi si perempuan dan keluarga suaminya yang disertai dengan pengenalan diri yang sangat baik tentang keluarga suaminya juga pengenalan diri yang sangat baik terhadap keluarganya sendiri (+anak-anaknya).
Kedua, alasan internal yang berpusat pada pengolahan jiwanya sendiri, yang memungkinkan diri untuk tetap tabah, sabar, konsisten dan setia menjalani kehidupan dalam kebaikan. Itulah hidup yang realistis, dengan tidak membiarkan diri hanyut dalam berbagai fantasi dan imajinasi yang terlalu menjulang serta jauh meninggalkan ralistas dengan tidak membiarkan dirinya bersama laki-laki lain yang bukan suaminya.
Akhirnya bisa dilihat, betapa sikap laku realistis membawa manusia ke kesederhanaan yang menentramkan. Kesederhanaan yang memungkinkan manusia menjalani hidup dengan tabah, sabar, tekun, taat asas, dalam kebaikan.
(Bagi pembaca laki-laki, obyek seyogyanya dikembalikan kepada diri sendiri sebagai cermin terhadap olah laku yang tidak sepatutnya dalam memandang perempuan dalam konteks yang di bahas format ini).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar