Novel ini ditulis oleh Multatuli (Eduard Douwes Dekker) yang meski ditengah kontroversinya apakah seluruh kejadian di novel ini adalah fakta, namun buku ini berani dan mampu melawan kolonialisme. Buku yang terbit di akhir abad 17 ini juga menginspirasi bung Karno untuk melawan penjajahan.
Max Havelaar sendiri digambarkan sebagai seorang asisten residen di Lebak (sekarang masuk Provinsi Banten). Dia menggantikan asisten sebelumnya yang tewas terbunuh, Slottering, sebelumnya Havelaar bertugas sebagai asisten residen di Natal (sekarang masuk Provinsi Sumatera Utara).
Apa yang menjadi permasalahan pada saat itu di Pulau Jawa adalah strategi yang digunakan kolonial Belanda untuk mengisi kembali pundi-pundi perbendaharaan kas mereka yang kosong akibat membiayai perang. Perang terbesar pada saat itu ialah Perang Jawa (1825-1830). Perang tersebut dimenangi oleh pemerintah kolonial Belanda dengan menyerahnya Pangeran Diponegoro. Dengan demikian, pemerintah kolonial tidak punya 'saingan' dalam memerintah Pulau Jawa. Namun, perang tersebut menyisakan kerugian yang cukup besar di pihak kolonial baik di Jawa maupun di negeri Belanda. Gubernur Jenderal Belanda pada saat itu ialah Johannes van den Bosch beride bagaimana mengembalikan kekayaan Pemerintah Belanda. Idenya adalah Pemerintah kolonial menerapkan sistem penanaman atau Cultuurstelsel.
Sistem tersebut tidak pernah tertuang secara eksplisit, namun didasarkan pada prinsip umum sederhana. Daerah-daerah berutang pajak kepada pemerintah yang besarnya 40% dari taksiran hasil panen utama (biasanya beras). Pajak tersebut dibayarkan dalam uang tunai, namun sulit dalam pelaksanaannya karena sumber daya administrasi dan uang tidak tersedia. Bila pendapatan panen suatu daerah lebih besar daripada pajak yang harus ditanggungnya, maka ia memperoleh kelebihannya, sementara kalau pendapatan hasil panen kurang dari pajak yang seharusnya, maka daerah tersebut harus menggantinya dari sumber pendapatan lain. namun yang terjadi adalah: bagi desa harus ada nilai tukar antara pajak tanah yang didasarkan atas komoditi beras dan komoditi ekspor kepada pemerintah Sistem ini mengharuskan masyarakat petani di daerah Jawa untuk menanam tanaman yang laku di pasar dunia seperti kopi, tebu, teh untuk diserahkan pada pemerintah kolonial sebagai pajak dalam bentuk natura (barang). Sebelum berkembangnya produksi gula dan nila, hanya kopi yang memiliki nilai ekonomis (ditanam di Priangan, Jawa Barat). Namun perkebunan nila tidak berhasil, sebagian besar perkebunan di Yogyakarta dan Surakarta berubah menjadi perkebunan gula. Selain itu, bagi penduduk yang tidak memiliki tanah, diharuskan membayar pajak dengan bekerja pada tanah milik pemerintah kolonial. Sistem Cultuurstelsel ini mulai diperkenalkan sejak tahun 1830 dan pada tahun 1840 diterapkan di seluruh Pulau Jawa.
Pada prakteknya, keuntungan hanya dinikmati oleh pengusaha Cina serta pada administrator dan para pejabat pribumi yang sebagian besar tidak hanya menerima persentasi namun juga memiliki tanah jabatan (Ricklefs). Dampak-dampak cultuurstelsel ini tentu saja menguntungkan negeri Belanda. Dalam kurun waktu 1831-1877, telah dihasilkan 827juta gulden. Dampak sosial dan ekologi tentu saja rusak. Penderitaan orang-orang di Jawa meningkat, serta lingkungan yang tak stabil. peruntukan lahan untuk padi diubah jadi menanam tebu. Akibatnya timbul paceklik. Sementara itu perdagangan komoditi ekspor dari Jawa ke Eropa semakin didominasi swasta, karena itu banyak yang tertarik menjadi broker antara sang majikan, Belanda, dan petani. Broker kopi ini, menurut Ricklefs (1993), bekerja sama dengan pegawai Belanda untuk memenuhi target ekspor kopi. Ketika cultuurstelsel mulai dihapuskan, kopi adalah komoditi yang dihapuskan terakhir kali.
Keadaan Sosial
Struktur cultuustelsel berdampak pada tatanan kehidupan sosial. Kepala desa merupakan penghubung antara petani dan pejabat yang puncaknya adalah bupati. Bupati adalah bangsawan yang mengepalai kabupaten dan bertanggung jawab pada pemerintahan Belanda. Pejabat Belanda di suatu kabupaten ditugasi untuk mengurus penerimaan pajak dari masyarakat petani. Permasalahan korupsi yang muncul ialah, mereka dibayar sesuai dengan persentase penyerahan komoditi pertanian. Komoditi ekspor yang menjadi hak pemerintah dihargai terlalu rendah. Perdagangan komoditi ekspor di jalur swasta meningkat, dan terjadi pemerasan terhadap desa-desa. Korupsi merajalela dan pemerintah pusat di Batavia tidak mampu memantau hal tersebut ke seluruh daerah.
Ada beberapa pertanyaan sekaligus kritik yang disampaikan Multatuli yang mungkin masih relevan sampai sekarang.:
Pertama, Kritik terhadap Sumpah Jabatan. Ketika diangkat sebagai Asisten Residen, Havelaar diminta mengucapkan sumpah bahwa akan mematuhi dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang juga terpenting adalah akan melindungi penduduk Bumi Putera terhadap penindasan, penyiksaan, penganiayaan. Apakah demikian yang dilakukan pejabat pemerintahan sekarang yang membela kepentingan rakyat kecil diatas kedudukannya?
Kedua, ia menegaskan apa panggilan bekerja. Ketika Max Havelaar memimpin rapat setelah ia dilantik maupun dalam surat-suratnya ia memberi pandangan apa peranan sebagai pekerja pemerintah :
Sebab kita bersukacita bukan karena memotong padi; kita bersukacita karena memotong padi yang kita tanam. Dan jiwa manusia bukan tumbuh karena upah, tapi karena kerja yang membikin ia berhak untuk menerima upah.
Dan apa jawab kita, kalau sesudah kita mati, ada suara menegur roh kita dan bertanya: "mengapa orang meratap di ladang-ladang, dan mengapa pemuda-pemuda menyembumyikan diri? Siapa yang mengambil panen dari lumbung dan menteret kerbau yang akan membahak ladang dari kandang? Apa yang telah klau lakukan dengan saudaramyu yang kuserahkan penjagaannya kepadamu? Mengapa si celaka itu bersedih hati dan mengutuk kesuburan istrinya? (h.69)
Adakah yang lebih tinggi dari kebahagiaan? Maka bukankah kewajiban kita untuk membahagiakan manusia? Dan jika untuk itu diperlukan kerja, bolehkah kita melarang orang Jawa bekerja, pekerjaan yang yang diperlukan untuk kebahagiaan jiwanya, supaya nanti tidak akan dibakar dalam api neraka (h.88)
..supaya anda tinggalkan sikap takut-takut dan tampil dengan berani memperjhuangkan sesuatu kepentingan (h.145)
dan ucapan ini ditujukan bukan terutama pada anda, tetapi kepada sekolah di mana anda dididik menjadi pegawai negeri Hindia (h.145). Hendaklah kata yang mulia itu terbukti dengan cara lain, dari sekedar gelar yang membosankan itu, gelar yang mengganggu arti kalimat.
Ketiga, mengkritik pengangkatan gubernur jenderal. Multatuli mempersoalkan pengangkatan gubernur jenderal. Menurutnya, orang yang diangkat menjadi gubernur jenderal seharusnya selain cakap adalah seorang yang cukup punya pengalaman memimpin, mengingat permasalahan di Hindia sangat kompleks. Persoalan kesetiaan dan kejujuran menjadi poin penting. Dari cerita Multatuli ini juga dapat diketahui bahwa praktik korupsi sudah berlangsung dari sejak dulu. Gedung-gedung pemerintahan yang dibangun seringkali tidak berdasarkan anggaran biaya yang telah disusun, tetapi menggunakan tenaga kerja paksa yang tidak dibayar. Dan terutama Multatuli menyoroti perilaku para pemimpin Belanda di Hindia seperti buta mendadak:
Orang yang baru beberapa waktu yang lalu tersembunyi di antara lingkungannya, tidak menonjol dalam pangkat atau kekuasaan, biasanya secara tiba-tiba, diangkat di atas orang banyak, yang jauh lebih besar jumlahnya dari lingkaran kecil yang dahulu membenamnya sebhingga tidak kelihatan oleh orangl dan saya kira tepatlah jika saya menyebut tempatnya yang tinggi itu membuat pemandangan orang berputar-putar....seperti kita menjadi buta apabila kita dengan cepat dipindahkan dari tempat yang gelap pekat ke tempat yang cerah. (h.149)
Keempat, mengkritik gaya hidup saleh? Multatuli mengkritisi apakah benar pandangan orang Belanda, bahwa mereka adalah golongan Eropa terpilih yang mendapat berkat Tuhan, berbeda dengan Prancis yang terjadi bunuh-bunuhan. Sementara orang Belanda berdiam di negeri jauh, Orang Jawa yang digambarkan kafir malah menghasilkan kekayaan bagi mereka (h.159)
Dari sudut pandang orang Belanda yang di negeri Belanda apakah kalimat: orang harus bekerja keras, dan siapa yang tidak mau, adalah miskin dan tetap tinggal miskin, dengan sendirinya (h.162) tetap relevan terlaksana di tanah jajahan?
Kejadian Lebak sudah jauh di belakang kita, tapi pertemuan dengan Max Havelaar tetap aktual. Sosok individu yang mempunyai perasaan kemanusiaan berjuang melawan kepentingan diri kolektivitas, dengan motif-motif manusia.
Para pemimpin negara ini perlu memaknai kembali sumpah jabatannya untuk membela rakyatnya alih-alih kepentingan politik golongan ataupun partainya. Wallahualam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar